LamanQu.Com – Di pinggir jalan kota-kota besar Indonesia, dulu ada pemandangan yang tak asing. Seorang pria dengan kuda-kuda kecil dan seekor monyet dengan topeng dan pakaian berwarna-warni. Diiringi musik sederhana. Monyet akan beratraksi mengendarai sepeda. Kemudian menirukan gerakan manusia, dan mengumpulkan koin dari para penonton yang terhibur. Inilah topeng monyet, sebuah hiburan rakyat yang pernah menjadi bagian dari lanskap budaya Indonesia.
Namun, kisah pertunjukan ini tidak berakhir dengan tepuk tangan. Seiring waktu, pandangan masyarakat berubah, dan hiburan ini akhirnya ditertibkan karena alasan yang mendasar.
Era Kejayaan: Dari Tahun ke Tahun Hingga Akhir Abad ke-20
Popularitas topeng monyet sebagai hiburan jalanan berlangsung selama beberapa dekade. Sejak pertengahan abad ke-20, praktik ini telah tersebar luas, terutama di perkotaan dan area padat penduduk. Bagi banyak orang, topeng monyet adalah bentuk hiburan yang mudah diakses dan menghibur, sering kali menjadi bagian dari pasar malam atau acara komunitas.
Para pawang (pelatih monyet) mengandalkan keterampilan dan relasi mereka dengan hewan untuk mencari nafkah. Pertunjukan ini menjadi simbol dari interaksi unik antara manusia dan hewan, meskipun di balik tirai, banyak hal yang tidak diketahui oleh penonton.
Titik Balik: Suara Hati yang Mulai Bicara
Pada awal abad ke-21, terutama dengan semakin meningkatnya kesadaran tentang hak-hak hewan, pandangan publik terhadap topeng monyet mulai berubah secara drastis. Organisasi perlindungan hewan dan aktivis mulai mengungkap kondisi di balik layar yang mengerikan.
- Kekerasan dalam Pelatihan: Terungkap bahwa proses melatih monyet untuk melakukan trik seringkali melibatkan paksaan dan kekerasan fisik, seperti penarikan rantai yang kuat pada leher monyet untuk memaksa mereka berdiri atau melakukan trik yang tidak alami.
- Kondisi Hidup yang Buruk: Monyet-monyet ini sering disimpan dalam kandang kecil dan kotor, tidak mendapatkan nutrisi yang layak, dan tidak memiliki akses ke ruang gerak yang cukup atau interaksi sosial yang penting bagi primata.
- Ancaman Penyakit: Isu kesehatan publik juga menjadi perhatian utama. Monyet yang berinteraksi langsung dengan manusia tanpa kontrol kesehatan yang ketat berpotensi menjadi pembawa penyakit (zoonosis) yang dapat menular.
Akhir Sebuah Era: Penertiban dan Pelarangan
Puncaknya, pada tahun 2013, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta di bawah pimpinan Gubernur Joko Widodo mengambil langkah tegas untuk menghentikan praktik ini. Program penertiban dan penyelamatan besar-besaran diluncurkan. Monyet-monyet disita dari para pawang dan dibawa ke pusat rehabilitasi di Taman Marga Satwa Ragunan.
Program ini tidak hanya fokus pada hewan, tetapi juga memberikan solusi bagi para pawang. Mereka diberi kompensasi dan modal usaha agar bisa beralih profesi, menunjukkan pendekatan yang manusiawi dan komprehensif.
Langkah Jakarta ini diikuti oleh beberapa kota lain, yang secara efektif mengakhiri era topeng monyet di jalanan. Kini, praktik ini dianggap ilegal di banyak tempat.
Kisah topeng monyet adalah cerminan dari evolusi kesadaran sosial kita. Apa yang dulu dianggap sebagai hiburan tak berbahaya. Kini dilihat sebagai bentuk eksploitasi dan kekejaman terhadap hewan. Berakhirnya tradisi ini menjadi pengingat bahwa di balik setiap bentuk hiburan, kita memiliki tanggung jawab moral untuk memastikan tidak ada makhluk hidup yang menderita.