Masyarakat Adat Batin Sembilan Terancam, Paris Agreement Soal Emisi Terabaikan

News
Hutan , kerusakan lingkungan , Kubu , Lingkungan , Masyarakat Adat Batin Sembilan , Suku Wong Kubu

Palembang, lamanqu.com – Desember 2018 Masa depan ratusan kepala keluarga (KK) masyarakat adat yang tinggal di seputar kawasan hutan di perbatasan Jambi-Sumatera Selatan mulai terancam, jika di sekitar kawasan hidup mereka dibangun jalan angkut batubara. Sebab, keberadaan jalan tambang itu akan membuka akses perambahan ke dalam hutan sehingga sumberdaya tradisional mereka, berupa hasil hutan bukan kayu, ikut rusak dan terancam habis.

Jalan angkut batubara itu diusulkan PT Marga Bara Jaya, anak perusahaan tambang batubara PT Triaryani, melewati kawasan hutan produksi terbatas (HPT) Sungai Kapas dan Sungai Meranti di wilayah Sumatera Selatan, serta HPT Sungai Kandang dan Hulu Sungai Lalan di Jambi. Usulan itu tinggal menunggu izin Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).

Menurut Ali Goik, Direktur Yayasan Depati, SumSel, di sekitar kawasan hutan produksi dataran rendah yang berkualitas baik dan terjaga itu, tinggal dan menetap masyarakat adat Batin Sembilan dan komunitas Suku Wong Kubu.

Wong Kubu adalah Satu Satunya Komunitas Masyarakat adat yang masih tersisa pasca dibubarkannya pemerintahan Marga Tahun 1983 lewat sk Gubernur dati I Sumatera Selatan Nomor:142/KPTS/III/1983. Selama ini mereka memanfaatkan hasil hutan bukan kayu, seperti madu, getah jernang dan jelutung untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Termasuk juga berburu babi hutan yang menjadi hama tanaman. “Hasil hutan bukan kayu ini merupakan sumber penghidupan utama mereka. Jika hutan sudah tidak ada, mereka akan kehilangan sumber penghidupan yang sudah diandalkan secara turun temurun,” jelas Ali.

Memicu Konflik Sosial
Rustandi, Ketua AMAN Sumsel malah mengkhawatirka, jika jalan tambang itu jadi dibangun, akan muncul konflik sosial. Sebab, jalan angkut batubara akan membuka akses selebar-lebarnya kepada para pendatang untuk masuk dan merambah hutan yang masih dalam kualitas baik.

“Yang kami cemaskan, jalan tambang itu bukan memberi manfaat kepada masyarakat adat, tapi malah memicu konflik. Para perambah akan memanfaatkan kayu dan lahan untuk dimiliki, sementara kelompok SAD dan Batin Sembilan justru kehilangan sumber kehidupan mereka,” tutur Rustandi.

Saat ini ada terdapat sekitar 220 kepala keluarga (KK) masyarakat adat, baik Suku Anak Dalam (SAD) maupun Batin Sembilan yang menjadikan kawasan hutan di perbatasan Jambi-Palembang.

Daerah itu sebagai kawasan hidup dan sumber penghidupan mereka. Menurut Rustandi, jika hutan digerus dan dirambah, masyarakat adatlah yang akan merasakan dampaknya.

Lebih jauh, Aidil Fitri dari Hutan Kita Institute (HaKI) Sumatera Selatan mengingatkan, sudah saatnya pemerintah baik pusat maupun daerah, melindungi masyarakat adat agar tidak kehilangan sumberdaya penghidupan.

Solusinya adalah, pemerintah dalam hal ini Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan tidak menerima usulan pembangunan jalan yang disampaikan PT Marga Bara Jaya.

“Kami mendukung penuh jika Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Ibu Siti Nurbaya, tidak mengeluarkan izin pembangunan jalan angkut batubara kepada anak perusahan PT Triaryani,” jelas Aidil sembari menambahkan, lanscape hutan Sungai Kandang-Hulu Sungai Lalan di Provinsi Jambi dan landscape hutan Sungai Kapas-Sungai Meranti di wilayah Sumsel, saat ini sedang dalam proses pemulihan.

Apalagi, lanjut master Lingkungan lulusan Amerika ini, langkah pemulihan kawasan hutan dataran rendah, termasuk salah satu upaya pemerintah untuk mendukung pencapaian INDC.

Rencana pembangunan jalan tambang batubara itu dinilainya bertolak belakang dengan komitmen Pemerintah Indonesia dalam pertemuan COP di Paris (Paris Agreement) tahun 2016, yakni berkontribusi dalam INDC (Intended National Determined Contribution) dengan pengurangan emisi sebanyak 29 persen, dibandingkan dengan Business As Usual (BAU) scenario by 2030.

Semakin banyak dilakukan pemulihan ekosistem hutan, maka semakin besar berkontribusi pada penyerapan emisi karbon. “Pemberian izin pembangunan jalan tambang tidak hanya akan memberikan dampak sosial kepada masyarakat adat, tetapi juga menafikan komitmen pemerintah dalam upaya pengurangan emisi karbon” ingat Aidil.

Manfaatkan Jalan yang Ada
Jalan yang sudah diusulkan sejak 2013, akan dibangun dari lokasi tambang PT Triaryani di Kabupaten Musi Rawas menuju stockpile yang berada di Desa Pulau Gading, Kecamatan Bayunglincir, Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatera Selatan. Dari 88 km jalan yang akan dibangun, sekitar 22 km berada di kawasan HPT Sungai Meranti dan Sungai Kapas, yang berada di Sumatera Selatan.

Agar tidak menimbulkan konflik di kemudian hari, Aidil meminta PT Marga Bara Jaya untuk menggunakan jalan yang sudah ada, karena selama ini sudah dimanfaatkan. Jalan dimaksud adalah melewati Desa Sako Suban, Desa Bintialo dan Desa Pangkalan Bulian –ketiganya berada di wilayah Kecamatan Batanghari Leko, Kabupaten Musi Banyuasin.

Jalan yang disebut warga sebagai jalan ConocoPhillip ini, sudah lama dimanfaatkan oleh perusahaan tambang.

Selain itu juga ada jalan alternatif, yakni melalui jalan existing PT Sentosa Bahagia Bersama (SBB). Jalan dimaksud selama ini hanya dimanfaatkan untuk jalan Hutan Tanaman Industri.

Dengan menggunakan jalan yang berada di luar kawasan Hutan Harapan, ada tiga manfaat yang bisa didapatkan sekaligus, yakni 1) kawasan Hutan Harapan terhindar dari ancaman ekologis, yakni mengganggu upaya pemulihan hutan yang saat ini dilakukan PT Reki; 2) Sumber kehidupan masyarakat adat Batin Sembilan, berupa hasil hutan bukan kayu yang berada di dalam kawasan Hutan Harapan, terlindungi dari gangguan pihak luar; 3) Masyarakat yang tinggal di sekitar jalan yang akan dilewati juga ikut menerima manfaat ekonomi, karena ramainya aktivitas yang melewati wilayah mereka.