Palembang, LamanQu.Com – Pernyataan Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) Erick Thohir mengenai kebutuhan kesatuan antara lembaga negaranya, Komite Olimpiade Nasional Indonesia (KONI), dan pemerintah dalam menyusun program bersama tidaklah sekadar perkataan kosong yang terucap semata-mata untuk kepentingan retorika publik.
Sebaliknya, ungkapan tersebut merupakan wacana yang mengandung nuansa intelektual mendalam, yang memposisikan kolaborasi sebagai pilar sentral dalam upaya mewujudkan transformasi olahraga nasional yang tidak hanya efisien dalam pengelolaan anggaran, tetapi juga strategis dalam membentuk arah pembinaan yang sesuai dengan aspirasi global.
Ketika Erick bertemu Ketua Umum KONI Pusat Marciano Norman di gedung KONI Senayan pada Kamis (3/12/2025), momentum itu menjadi titik awal yang signifikan untuk memecahkan kebuntuan yang selama ini seringkali muncul akibat perbedaan orientasi antara lembaga yang bertugas mengatur olahraga dan aparatur negara yang bertanggung jawab atas alokasi sumber daya.
Dari sudut pandang teori tata kelola lembaga, kesatuan antara Menpora, KONI, dan pemerintah merupakan wujud penerapan prinsip “governance yang terintegrasi” yang telah banyak dibahas oleh para akademisi dan praktisi di ranah kebijakan publik.
Prinsip ini menekankan bahwa efektivitas kebijakan tidak dapat dicapai hanya melalui aksi satu pihak semata, melainkan melalui sinergi yang terstruktur antara berbagai aktor yang memiliki peran dan wewenang yang saling melengkapi.
Dalam konteks olahraga nasional, KONI sebagai lembaga swadaya masyarakat yang memiliki otoritas internasional dalam ranah Olimpiade memilikinya keahlian dalam pembinaan atlet, pengelolaan kompetisi, dan hubungan dengan lembaga olahraga global.
Sementara itu, pemerintah melalui Menpora memiliki akses ke anggaran negara, kebijakan keuangan, dan jaringan kelembagaan di tingkat daerah yang diperlukan untuk menyejahterakan olahraga di seluruh pelosok negeri. Ketika kedua pihak ini bersatu dengan program bersama, maka setiap langkah yang diambil akan memiliki dasar yang lebih kuat, baik dari sisi teknis maupun kebijakan, sehingga meminimalkan risiko pemborosan anggaran dan memastikan alokasi sumber daya tepat sasaran – hal yang menjadi alasan utama Erick untuk mendukung transformasi yang dilakukan KONI.
Selain aspek efisiensi anggaran, narasi Erick juga menyentuh pada kebijakan penyeragaman cabang olahraga dalam Pekan Olahraga Nasional (PON) dengan cabang olahraga yang dipertandingkan dalam Olimpiade.
Pengenalan langkah strategis ini tidak dapat dilihat secara sepihak sebagai upaya untuk hanya menyesuaikan diri dengan standar global, melainkan sebagai upaya intelektual untuk menyelaraskan pembinaan olahraga nasional dengan sasaran yang lebih besar, yaitu meraih prestasi di panggung internasional.
Dalam konteks teori pembangunan olahraga, penyeragaman cabang olahraga menjadi cara yang efektif untuk mengkonsolidasikan sumber daya ke cabang-cabang yang memiliki potensi lebih besar untuk meraih medali, sehingga memaksimalkan hasil dari investasi yang telah dilakukan oleh negara.
Namun, seiring dengan itu, Erick juga menunjukkan kepekaan yang tinggi terhadap konsekuensi yang akan ditimbulkan, terutama bagi cabang olahraga yang tidak termasuk dalam kategori Olympic sport. Ini merupakan bukti bahwa wacana tersebut tidaklah bersifat reduksionis, melainkan mempertimbangkan aspek inklusivitas yang menjadi bagian tak terpisah dari pembangunan olahraga yang berkelanjutan.
Pertanyaan yang diajukan Erick – “kalau bicara ranah daerah dan pembinaan lain, bagaimana?” – merupakan refleksi dari pemikiran yang kritis dan komprehensif. Di satu sisi, penyeragaman PON dengan Olimpiade akan menciptakan ruang diskusi yang lebih besar mengenai arah pembinaan olahraga nasional, sehingga semua pihak dapat berpartisipasi dalam menentukan rencana jangka panjang yang paling sesuai dengan kondisi Indonesia. Di sisi lain, hal itu juga menimbulkan tantangan untuk memastikan bahwa setiap cabang olahraga, termasuk yang tidak olimpiade, tetap mendapat ruang pembinaan yang proporsional. Dalam konteks ini, peran pemerintah menjadi sangat penting untuk menyusun kebijakan pelengkap yang dapat menyejahterakan cabang-cabang olahraga tersebut, baik melalui pendanaan khusus, program pembinaan di tingkat daerah, atau pengembangan wadah kompetisi yang sesuai dengan karakteristik masing-masing cabang. Tanpa kebijakan semacam itu, penyeragaman PON berisiko menciptakan kesenjangan antara olahraga yang berorientasi internasional dan olahraga yang lebih bersifat tradisional atau daerah, yang pada akhirnya akan merusak keberagaman olahraga nasional.
Secara keseluruhan, wacana yang diajukan Erick Thohir merupakan upaya yang berani dan intelektual untuk mengubah lanskap olahraga nasional Indonesia. Kesatuan antara Menpora, KONI, dan pemerintah bukanlah tujuan akhir, melainkan sarana untuk mencapai transformasi yang lebih besar – transformasi yang membuat olahraga nasional menjadi lebih efisien, strategis, dan inklusif.
Dalam menjalankan langkah-langkah ini, sangat penting bagi semua pihak untuk tetap terbuka terhadap diskusi, mempertimbangkan berbagai perspektif, dan selalu memprioritaskan kepentingan olahraga dan atlet Indonesia secara keseluruhan. Hanya dengan demikian, upaya untuk meningkatkan prestasi olahraga nasional dan menyejahterakan olahraga di tingkat masyarakat dapat terwujud dengan baik, tanpa mengorbankan salah satu aspek yang penting dalam pembangunan olahraga yang seimbang.




