Palembang, LamanQu.Com – Sumatera, bumi yang menyimpan sulaman kisah dari masa ke masa, kini terhuyung. Bukan sekadar kabar duka yang merayap di linimasa, ini adalah jeritan batin dari rahim pertiwi yang terkoyak. Ketika banjir dan longsor memukul, hitungan kerugian seringkali berhenti pada angka material: bangunan yang ambruk, lahan yang terendam, dan jiwa-jiwa yang terenggut. Namun, di balik kalkulasi yang dingin itu, terhampar tragedi yang jauh lebih senyap dan mendalam, sebuah luka yang menganga pada jantung identitas kita.
Air bah itu tidak hanya menyeret batang pohon dan bebatuan, ia juga melenyapkan ruang budaya, wadah tempat ingatan kolektif sebuah komunitas bersemayam.
Bayangkanlah, Rumah adat yang bukan sekadar kayu dan atap, melainkan pustaka arsitektur yang merekam filosofi hidup ratusan tahun, kini tinggal puing, bisu di bawah lumpur.
Arsip pusaka dan manuskrip kuno, saksi bisu sejarah leluhur, hanyut tak bersisa, seolah zaman yang lampau ikut ditelan gelombang.
Ruang komunal tempat cerita rakyat didongengkan di bawah rembulan, tempat upacara adat dihelat sebagai janji suci pada alam, kini sunyi, kosong, dan hilang porosnya.
Inilah krisis yang tak tercatat dalam laporan resmi BNPB: ancaman kepunahan terhadap Kebudayaan yang menjadi tiang penyangga jiwa sebuah bangsa.
Ki Hadjar Dewantara pernah mengingatkan kita: “Kebudayaan Nasional adalah puncak-puncak dari kebudayaan daerah yang telah diolah dan ditransformasikan menjadi milik seluruh bangsa.”
Tragedi ini meruntuhkan “puncak-puncak” itu. Setiap puing yang hancur adalah satu bab kisah yang robek, satu dialek lisan yang terancam putus, dan satu keping warisan yang terperosok ke dalam jurang kelupaan. Maka, empati kita harus melampaui rasa iba semata. Ia harus menjadi energi penggerak yang sadar bahwa yang sedang kita pertaruhkan adalah kelanjutan sebuah peradaban. Kita tidak hanya membantu mendirikan rumah fisik, tetapi juga membangun kembali rumah jiwa mereka.
Inilah saatnya kita mengamalkan Ajaran Ki Hadjar Dewantara Tri-Ngo (Ngerti, Ngroso, Nglakoni) secara utuh:
Ngerti (Mengerti): Kita harus memahami kedalaman hilangnya warisan budaya ini, bukan hanya sekadar melihat kerugian materi.
Ngraso (Merasa): Kita harus menghayati dan merasakan perihnya ancaman putusnya tali sejarah dan identitas yang dialami oleh saudara-saudara kita.
Nglakoni (Menjalankan): Kita harus melakukan aksi nyata, bukan hanya diam dalam simpati, untuk menyelamatkan dan memulihkan kembali pusaka-pusaka yang tersisa.
Sungguh, hari ini, doa menjadi mantra yang menguatkan, solidaritas menjadi jembatan kemanusiaan, dan aksi nyata adalah ikrar bakti kita pada Sumatera. Saya tunduk, bangga, dan menghargai setiap langkah kawan-kawan yang dengan sigap membuka posko bantuan untuk Bencana Sumatera. Mereka adalah lentera di tengah kegelapan, yang membuktikan bahwa identitas ke-Indonesiaan kita—yang bergotong royong dan saling mengasihi—tak akan pernah hanyut.
Mari, kita ulurkan tangan. Bukan sekadar untuk hari ini, tapi untuk memastikan bahwa cerita rakyat Sumatera akan tetap didengar oleh generasi mendatang, bahwa rumah adat akan kembali berdiri megah, dan bahwa air mata duka akan tergantikan oleh janji untuk membangun kembali, dengan kebudayaan sebagai fondasi yang tak tergoyahkan.






