Warung rakyat tak butuh insentif pajak triliunan untuk memberi makan jutaan orang. Mereka hanya butuh negara berhenti merusak tanah tempat mereka berpijak.
Oleh: Ki Edi Susilo
(Penikmat Kopi Hitam dengan Sedikit Gula)
LamanQu.Com – MALAM merayap di sebuah Burjo. Di depan saya, segelas kopi hitam dengan sedikit gula, setia dengan pahit yang jujur dan manis yang malu-malu. masih mengepulkan uap tipis. Di sela sesapan, saya memperhatikan sekeliling, seorang pengemudi ojek daring yang kepalanya terkantuk-kantuk, mahasiswa yang dahinya berkerut menghitung sisa koin di saku, dan kepulan asap mi instan yang menari di bawah lampu neon 25 watt.
Tiba-tiba saya terperangah. Di meja kayu yang agak goyang ini, saya menemukan sebuah kebenaran yang sering kali dikubur hidup-hidup oleh laporan statistik mentereng di meja-meja birokrasi. Di sini, di warung-warung “kaum kalong” seperti Burjo, Warteg, Angkringan, dan Warung Madura yang nekat terjaga 24 jam, denyut nadi ekonomi rakyat yang sesungguhnya berdenyut. Mereka adalah malaikat penjaga yang memastikan perut rakyat kecil tetap terisi ketika negara sedang terlelap atau mungkin, sedang sibuk meracik narasi “hilirisasi” yang sering kali hanya manis di telinga para pemodal.
Namun, di balik kehangatan ini, rasa pahit kopi saya berubah menjadi getir yang lain. Di bawah bayang-bayang narasi besar keberlanjutan dan lompatan menuju negara maju, tanah air kita justru sedang dipaksa melayani nafsu korporasi yang tak pernah kenyang.
Kita menyaksikan ironi yang perih, banjir bandang di Sumatera yang kini jadi Sorotan dunia adalah “surat cinta” dari eksploitasi yang ugal-ugalan. Hutan digunduli dan perut bumi dirobek demi angka pertumbuhan yang hanya dinikmati segelintir orang. Pemerintah ini harus sadar bahwa memberikan izin HGU dan IUP secara serampangan bukan sedang membangun negara, melainkan sedang menggali kuburan bagi masa depan ekologi kita. Korporasi raksasa datang seperti kekasih yang penuh janji investasi, namun begitu laba dikeruk dan alam hancur, mereka bisa dengan mudah melipat koper. Sementara rakyat? Mereka tetap di sana, berenang dalam lumpur sisa tambang, hanya bisa bersandar pada kebaikan pemilik Burjo untuk sekadar “bon” sepiring nasi.
Konstitusi kita, melalui Pasal 33 UUD 1945, mengamanatkan Ekonomi Pancasila, sebuah simfoni yang disusun atas asas kekeluargaan. Namun hari ini, yang terdengar justru orkestra “Ekonomi Kanibal”. Negara tampak lebih tunduk pada bisikan oligarki ketimbang melindungi pedagang mikro yang secara heroik menjadi jaring pengaman sosial tanpa perlu disubsidi APBN.
Pikirkan ini dengan jernih, sebuah Warung Madura yang buka 24 jam tidak butuh insentif pajak triliunan, tidak butuh membabat hutan lindung, dan tidak pernah mem-PHK karyawannya saat bursa saham rontok. Mereka adalah ekonomi yang mandiri, tahan banting, dan yang terpenting, manusiawi. Jika pemerintahan saat ini benar-benar membawa semangat “keberlanjutan”, maka keberlanjutan itu seharusnya dimulai dari meja-meja angkringan, bukan dari lubang-lubang tambang.
Maka, dari meja Burjo yang sederhana ini, saya melontarkan tuntutan yang mungkin terdengar gila bagi para teknokrat.
Negara harus berani melakukan moratorium 75 tahun terhadap izin-izin konsesi baru, HGU, dan pertambangan*.
Cukup sudah kita menjadi bangsa yang hanya pandai menjual “badan” tanah air dalam bentuk mentah. Sudah saatnya penguasa bertobat dari kecanduan investasi ekstraktif dan beralih fokus total pada sektor riil ekonomi rakyat. Lindungi Warung Madura dari kepungan retail modern yang rakus lahan. Beri akses modal bagi pemilik Warteg agar tak tercekik rentenir. Pastikan para pahlawan ekonomi 24 jam ini mendapatkan jaminan keamanan, bukan malah dijadikan objek pungutan liar di jalanan.
Jika negara punya nyali untuk benar-benar berdaulat, berhentilah sibuk memoles citra di atas kerusakan alam. Mulailah memastikan rakyat bisa hidup bermartabat di atas tanahnya sendiri tanpa perlu takut banjir kiriman dari konsesi korporasi.
Kopi hitam saya sudah dingin. Rasa pahitnya tertinggal di lidah, namun kegelisahan ini harus tetap membara. Sebab, jika lentera-lentera di sudut jalan ini akhirnya padam karena kebijakan yang buta, maka saat itulah sejatinya bangsa ini sedang menuju kegelapan yang sesungguhnya.






