Palembang, LamanQu.Com – Dugaan praktik Uang kutipan komite di sejumlah SMA Negeri di Kota Palembang kembali menjadi sorotan publik. Isu ini dinilai mencederai prinsip keadilan dan transparansi dalam dunia pendidikan, khususnya pada proses Sistem Penerimaan Murid Baru (SPMB).
Pengamat Politik dan Kebijakan Publik Sumatera Selatan, Bagindo Togar BB, menilai bahwa sistem pendidikan yang ideal seharusnya mengedepankan mekanisme penerimaan siswa secara online dan transparan, sebagaimana yang telah diterapkan di DKI Jakarta.
Menurut Bagindo, saat ini Sistem Penerimaan Murid Baru (SPMB) memang telah memiliki jalur resmi seperti zonasi domisili, afirmasi, mutasi, prestasi, dan tes potensi akademik. Namun di lapangan, ia menyoroti masih adanya praktik yang disebutnya sebagai “jalur koneksi”, yakni jalur tidak resmi yang muncul karena kedekatan orang tua dengan pihak pengambil keputusan, baik kepala sekolah maupun dinas pendidikan.
“Jalur koneksi ini bisa dikompromikan. Jangan heran kalau aturan ditabrak. Di sinilah potensi uang kutipan komite itu muncul,” kata Bagindo.
Ia juga menyoroti tidak optimalnya peran koordinator kelas (korlas) yang seharusnya dibentuk dari orang tua murid. Menurutnya, korlas idealnya menjadi representasi kepentingan siswa dan orang tua, bukan justru perpanjangan tangan pihak sekolah.
“Korlas itu cerminan kepentingan murid, bukan alat sekolah. Kalau korlas berjalan baik, maka uang kutipan komite atau pungli bisa dicegah,” ujarnya.
Bagindo menegaskan bahwa di banyak daerah lain, termasuk di Pulau Jawa, pungutan sekolah sangat minim bahkan nyaris tidak ada. Jika pun ada, nilainya kecil dan bersifat sukarela.
“Di provinsi lain, tidak ada uang kutipan komite. Kalau ada kutipan, paling Rp10 ribu sampai Rp20 ribu, bahkan maksimal Rp25 ribu. Bukan ratusan ribu seperti yang terjadi di sini,” tegasnya.
Ia menambahkan, dengan adanya dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS), seharusnya sekolah tidak lagi membebani orang tua siswa dengan berbagai pungutan, termasuk untuk pembelian seragam atau buku.
Bagindo juga mengkritisi lemahnya political will para pejabat terkait dalam memberantas pungli di lingkungan sekolah. Akibatnya, sekolah unggulan dinilai hanya dapat diakses oleh kalangan tertentu dari kelas sosial ekonomi atas.
“Kalau ada political will, uang kutipan komite itu tidak akan ada,” katanya.
Ia pun mengingatkan bahwa uang kutipan komite itu merupakan tindak pidana yang memiliki ancaman hukuman hingga empat tahun penjara. Oleh karena itu, masyarakat diminta tidak ragu melaporkan praktik tersebut.
“Laporkan ke DPRD, Inspektorat, atau aparat penegak hukum seperti kepolisian dan kejaksaan. Jangan takut,” pungkasnya.






