Palembang, LamanQu.Com – Tim Yayasan Lacak Budaya Sriwijaya terus mematangkan penyusunan buku biografi “Sahilin dan Karya Musiknya” melalui kegiatan Focus Group Discussion (FGD) yang digelar pada Sabtu, 6 Desember 2025, di Aula Sekolah Nurul Amal Palembang.
Kegiatan ini didukung penuh oleh Balai Pelestarian Kebudayaan (BPK) wilayah VII Provinsi Sumatera Selatan dan diikuti sebanyak 25 peserta dari kalangan akademisi, seniman, budayawan, guru, mahasiswa, serta perwakilan universitas ini menjadi ruang bersama untuk merumuskan arah penulisan biografi maestro musik Batanghari Sembilan tersebut. Buku ini akan menjadi catatan referensial sekaligus dokumentasi historis bagi generasi mendatang.
Dalam kata sambutannya, Ketua Pelaksana Hasan M.Sn sekaligus ketua Lacak Budaya Sriwijaya menegaskan bahwa penyusunan biografi Sahilin bukan hanya upaya pendokumentasian, tetapi langkah strategis menjaga ingatan budaya Palembang.
“Kehadiran para peserta FGD ini menjadi bagian penting dalam proses penyusunan catatan sejarah perkembangan sendra tasik sebagai warisan seni budaya Palembang. Kesenian tumbuh secara kolektif, sehingga suara pelaku seni, pemerhati, akademisi hingga komunitas menjadi pijakan utama penyusunan buku ini,” ujar Hasan
Oleh karena itu, kata Hasan dalam penyusunannya harus melibatkan banyak pihak karena kesenian tradisi tidak lahir dari satu tangan saja.
“Kesenian tumbuh dan berdiri secara kolektif. Karena itu, suara para pelaku seni, akademisi, budayawan hingga komunitas sangat dibutuhkan. Masukan hari ini akan menjadi landasan riset dan rujukan penulisan buku,”ungkap Hasan.
Hasan juga menyebutkan bahwa buku yang tengah disiapkan fokus pada karya musik dan pengalaman musikal Sahilin, bukan pada keseluruhan aspek kehidupan sang maestro.
“Saya berharap dengan digelarnya FGD ini menjadi jalan bagi penguatan pemahaman serta pelestarian tradisi Batanghari Sembilan yang selama ini menjadi identitas budaya masyarakat Sumatera Selatan,”harapnya.
Dalam diskusi, para peserta mengulas berbagai aspek kehidupan dan karya Sahilin, mulai dari proses kreatif, kontribusi budaya, hingga pengaruhnya terhadap perkembangan musik tradisi di wilayah Batanghari Sembilan.
Tim Lacak Budaya menegaskan bahwa penyusunan biografi ini bukan sekadar dokumentasi, tetapi juga upaya pelestarian jejak seorang tokoh yang telah memberikan warna penting dalam kesenian daerah.
Beberapa narasumber turut memberikan pandangan mendalam mengenai teknik musikal Sahilin, perjalanan rekam jejak kariernya, serta relevansi karya-karyanya bagi generasi muda saat ini. Masukan dan data historis yang dihimpun akan menjadi landasan penyempurnaan naskah buku sebelum diterbitkan.
Fokus Penulisan: Mengangkat Karya dan Jejak Musikal Sahilin
Dalam paparannya, Feri Firmansyah menyampaikan bahwa struktur buku akan bergerak dalam tiga kerangka besar: rencana struktur biografi, arah penulisan, serta fokus kajian peran Sahilin dalam musik Batanghari Sembilan.
“Dalam penulisan biografi Sahilin akan berfokus pada:latar keluarga yang membentuk motivasi musikalnya, proses pendidikan nonformal sebagai seniman tunanetra, perjalanan kesenimanan dari panggung ke rekaman, serta analisis karya-karya utamanya,”jelasnya
Feri juga menegaskan bahwa ruang penulisan diarahkan untuk menonjolkan karya-karya utama Sahilin dan proses kreatif yang membentuk identitas musikalnya.
Tiga lagu yang dianggap paling representatif, yakni Nasib Muara Kuang, Bujang Buntu, dan Ratapan Mati Gadis — akan menjadi objek analisis utama.
“Penulisan biografi tidak sekadar memotret kehidupan, tetapi harus menyoroti inti perjalanan musikal Sahilin, bagaimana ia tumbuh, berinovasi, dan mengukuhkan tradisi,” ujar Feri.
Narasumber Soroti Kronologi, Gaya Tutur, dan Warisan Budaya
Dr. Arif Andrisanyah, M.Pd selaku narasumber dalam FGD ini, menekankan pentingnya penulisan biografi yang runtut dan berakar pada data kredibel.
“Kronologi bukan sekadar runtutan waktu, melainkan kunci untuk memahami pembentukan karakter dan proses kreatif Sahilin,” ujarnya.
Dr Arif menyarankan sistematika sederhana namun kuat: masa kecil, perjalanan seni, karya penting, serta warisan budaya. Ia juga menekankan perlunya gaya tutur yang mampu menghadirkan sosok Sahilin secara hidup, termasuk ketekunan dan kedalaman moralnya sebagai seniman tunanetra.
Dr. Arif turut menegaskan pentingnya menghadirkan narasumber utama, termasuk Anwar Putra Bayu dan dirinya, yang sama-sama terlibat dalam pengurusan gelar Maestro untuk Sahilin.
Peran Maestro dalam Perkembangan Musik Tradisi
Pada pemaparan kedua, budayawan Yudi Syarofi menyoroti proses panjang Sahilin dalam dunia rekaman. Sejak merantau ke Palembang tahun 1972, Sahilin telah menandai perjalanan musiknya melalui beberapa album yang laris di pasaran.
Album “Ratapan Mati Gadis” menjadi pintu ketenarannya, disusul “Tiga Serangkai” yang disebut paling fenomenal.
“Keberhasilan penjualan kaset mengubah kehidupan Sahilin mulai dari membeli tanah, membangun rumah, hingga menikah bertepatan dengan rilisnya album ketiga,”jelas Yudi.
Tak hanya itu, Yudi juga menyebutkan Sahilin juga dikenal produktif berduet dengan sejumlah penyanyi daerah, dengan Siti Rahmah sebagai pasangan duet paling sering.
Lebih jauh, Yudi menguraikan perkembangan istilah dan instrumen Batanghari Sembilan, termasuk masuknya alat musik modern seperti gitar, akordeon, dan terompet yang kemudian memengaruhi gaya khas Sahilin atau dikenal dengan istilah “Sahilinan”.
Pengaruh Sahilin terhadap Regenerasi Seniman Muda
Narasumber ketiga, Silo Siswanto, menegaskan bahwa pengaruh Sahilin bukan hanya musikal tetapi juga kultural.
Menurutnya, gaya bermain Sahilin telah membentuk referensi bagi banyak seniman tradisi generasi baru.
“Sahilin membangun regenerasi tanpa didaktik. Bukan dengan teori panjang, namun melalui kedekatan musikal.
Generasi muda merasa tergerak karena gaya musiknya yang menembus rasa,” ujarnya.
Silo menyebut Sahilin sebagai “penjaga tradisi” yang menghadirkan humor, ekspresi panggung, dan inovasi musikal tanpa meninggalkan akar budaya.
“Apa pun alat musiknya, ketika dimainkan bersama Sahilin, warnanya berubah menjadi gaya Sahilinan. Ini potensi besar untuk dikaji sebagai identitas musikologi Sumatera Selatan,” kata Silo.
Kesaksian Keluarga: Memotret Nilai Moral Sang Maestro
Saudara Sahilin, Rusli, memberikan kesaksian personal mengenai filosofi hidup Sahilin yang sederhana dan penuh kesabaran. Ia berharap buku ini turut menampilkan sisi moral sang maestro.
“Kami berharap makam Sahilin diperbaiki sebagai penghormatan bagi seniman yang memberi hidup bagi musik Batanghari Sembilan,” ujarnya.
Masukan Penikmat Musik: Gaya Semi-Novel dan Penegasan Ketokohan
Dedi Firmansyah, penikmat musik Batanghari Sembilan, menilai buku ini idealnya ditulis dengan gaya semi-novel agar lebih dekat dengan pembaca.
Ia juga menekankan perlunya terminologi yang jelas tentang musik Batanghari Sembilan, sebab selama ini pendekatannya hanya geografis.
Penegasan ketokohan Sahilin sebagai Maestro harus dibuat lebih kuat, tidak hanya untuk pembaca lokal, tetapi juga bagi peneliti dan akademisi internasional.
FGD ini menjadi rangkaian awal dari proses penyusunan biografi yang ditargetkan rampung dalam beberapa bulan ke depan.
Tim berharap buku tersebut dapat menjadi rujukan akademik sekaligus inspirasi bagi pelaku seni dan masyarakat yang ingin mengenal lebih dekat sosok maestro Sahilin serta kekayaan budaya Tembang Batanghari Sembilan.




