Perlukah Dongeng di “Conversation Class ?”
Palembang, lamanqu.com – Dongeng sudah menjadi bagian dalam dunia pendidikan kita. Baik formal maupun informal, baik di sekolah maupun dirumah. Cuman di era digital ini mungkin saja dongeng sudah melebur dengan bentuk dan wujud yang berbeda.
Sekedar menghambat kepikunan diri tak ada yang salah jika mereka-reka ulang cerita dibalik menjamurnya tehknik tehknik pengajaran dan sering kali peran seorang guru itu tampak membosankan. Boleh juga sesekali beralih menu, biar tetap enjoy di kelas. Kita lanjut yuk
Ungkapan ‘Not Every disaster is disastros’ selalu aku pakai dalam mengawali opening kelas conversation yang berbasis Theme based curriculum. Pengalaman sewaktu aku masih menjadi tutor Bahasa Inggris. Jumlah peserta kursus yang tidak terlalu banyak maksimal 10 orang dalam kelasnya. Jumlah yang asyik dan ideal untuk kelas percakapan. Klasifikasi usiapun mereka peserta minimal sudah di tingkat SMA, ya terkadang anak SMA juga berada satu kelas dengan peserta yang sudah bekerja.
“Guys do you understand what do the words mean? Aku mengawali diskusi. Melalui mimik yang mereka munculkan, ada yang masih belum begitu faham, ada yang cuma manggut-manggut. Kemudian aku ajak mereka untuk menerjemahkan masing-masing sehingga ‘tidak setiap bencana merupakan…’ dan aku menjelaskan ulang dalam imbuhan pembentukan kata sifat atau adjective yang berakhiran –ous atau -ious yang dalam bahasa Indonesia kita sering mengartikan ‘mengandung’ atau ‘berisikan’, bukan mengandung yang bermakna ‘hamil’.
Dan aku mulai menulis contoh di whiteboard kata-katanya sebagai contoh, mulai kata danger dengan dangeraous, ‘bahaya’ dengan ‘berbahaya’, poison dengan poisoneous, ‘racun’ dengan ‘beracun’.
Aku juga membimbing mereka untuk membentuk kalimat dengan formula dengan awalan kata “Not every…… is……” yang dalam bahasa Indonesia “Tidak Semua bla bla… adalah bla bla….”
Terkadang mereka susah mencari idenya. Supaya cepat praktiknya, mereka aku beri ide dan mereka cuma menerjemahkan, misalnya “tidak semua laki laki bersalah”, mereka saya beri giliran praktiknya dan dijawab “ not every man is mistaken”, “tidak semua manusia sempurna” yang dapat giliran menjawab “ not every human is perfect” dan seterusnya. Begitulah salah satu cara dipakai sehingga di situ awal terjadi interaksi tutor dengan peserta kursus.
Pemahaman ungkapan di atas perlu diurai dan diungkap lagi. Oleh karena itu, seorang tutor harus bisa juga menjadi storyteller atau pendongeng sebagai premis dari ungkapan tersebut.
Ya ceritanya harus bersesuaian dengan ungkapan ‘Not every disaster is disastros’.
Aku mengawali sebuah cerita dan “Pada zaman dahulu kala, di sebuah kerajaan kecil….” Sambil bercerita aku mengajak para peserta kursus untuk menerjemahkan cerita sambil sesekali aku menulis kata kata baru di whiteboard. Dan kembali aku melanjutkan, “hiduplah sebuah keluarga kecil yang bahagia.
Ya kecil karena hanya ada ayah, ibu, dan anak laki laki yang sedang tumbuh remaja. Keluarga kecil ini memiliki seekor kuda yang sangat jinak dan cerdas.
Pada suatu sore, kuda yang sangat bagus tadi tersesat dan tidak pulang sehingga keluarga tersebut dan para tetangga menyimpulkan bahwa kuda tersebut hilang.
Kuda yang sangat mereka sayangi tadi hilang membuat keluarga ini merasa sangat kehilangan sekali.”
Sampai di situ aku hentikan cerita sejenak, dan kembali ke whiteboard dan menulis ungkapan “ the most able to hurt us is what we love most” ‘sesungguhnya yang paling mampu menyakiti kita adalah apa yang paling kita sayangi’.
Dengan ungkapan di atas, aku juga bimbing mereka untuk menerjemahkan, misalnya “ yang paling mampu mengerti saya adalah dirimu….” “the most able to understand me is you”
‘The most responsible for controlling the basic need price is.. dan seterusnya….
Yang paling bertanggung jawab untuk mengontrol harga sembako adalah…
Lalu aku kembali cerita sembari mengingatkan mereka untuk membuka buku guide-nya pada halaman yang berjudul “How to respond a bad and good news” “Bagaimana merespons kabar baik dan kabar duka”.
Dari potongan cerita di atas ketika tetangga atau sahabat kita kehilangan sesuatu, maka dalam tutur bahasa Inggris apa yang biasa kita sampaikan sehingga menghibur yang sedang kehilangan atau sedang alami kedukaan
Masing masing peserta diminta cara mereka sendiri sehingga saya menambahkan misalnya,
“That’s okey just take the bright side” “sudahlah ambil saja hikmah dari semua ini”.
“Don’t be sad you will have a good lesson from these/all” “jangan terlalu bersedih ambil saja pembelajaran dari semua ini.”
“God knows better and always gives the best for us” “Tuhan Maha tahu yang dan selalu memberikan yang terbaik untuk kita”
“Just move on man, live must go on…”
Setelah menyampaikan dan membimbing mereka menyusun ungkapan symphatizing, aku kembali ke cerita. “Guys let’s get back into the story, kemudian kehidupan di keluarga itu kembali normal seperti biasa.
Something surprisingly happened in the afternoon. Suatu sore, semua warga kampung itu dikejutkan dengan suara derapan kaki-kaki kuda dan ringkikan yang membangkitkan semua warga kampung itu berhamburan keluar rumah.
Tampak di sepanjang jalan kampung itu barisan ratusan kuda membentuk barisan yang dipimpin oleh kuda yang hilang beberapa hari yang lalu. ‘O, ternyata kuda yang dinyatakan hilang ternyata membawa ratusan kuda kuda liar!’ bisik warga di kampung itu.”
Sebuah cerita akan menarik ketika ada suspensi/kejutan. Para peserta kursus juga memunculkan mimik senyum-senyum bercampur dengan rasa penasaran dengan ending cerita ini. Seorang storyteller haruslah bisa menangkap bahasa tubuh dari para pendengrnya.
“Menyaksikan hal tersebut, warga di kampung itu, siang dalam malam selalu silih berganti berdatangan untuk berbagi kebahagiaan, bersuka ria.”
Pada bagian itu aku hentikan cerita sampai di situ. Aku mengajak para siswa untuk membuat ungkapan pendek tentang tanggapan yang biasa kita ungkapkan, ketika kita menerima kabar baik yang terjadi pada teman teman dekat kita, saudara atau tetangga.
I might poused the story guys, aku sampaikan ke siswa. Ya secara umum kita bisa, mengucapkan “congratulation” “selamat ya” “that’s a real good luck to you… I am so happy to hear about that..” “That’s nice… I am happy for you”.
Dan sebelumnya aku biasanya menanyakan kepada mereka satu per satu, tentang apa yang biasanya membuat orang bahagia dan apa yang membuat orang bersedih.
Aku respek dan hargai terhadap pendapat mereka masing-masing dengan menulis list di whiteboard faktor-faktor yang membuat orang sedih dan bahagia.
“So, what exactly made you happy and what made you sad commonly?” Aku tulis di whiteboard. Faktor yang membuat mereka bahagia, secara spontan aku terimah respon dari mereka, misalnya; ketika mendapat anggota keluarga baru, pernikahan, diterima kerja, baru lulus dari ujian, dapat bonus dan seterusnya.
Juga faktor-faktor yang membuat orang bersedih, mereka para peserta berijawaban, misalnya; meninggal anggota keluarga, kehilangan, kecelakaan, kegagalan, kekalahan, perpisahan, dan sebagainya.
Cerita ini harus dituntaskan terlebih dahulu, baru masuk ke sesi drama dan pairwork dalam skema kelas activity.
karena itu, pemanfaatan waktu sangat diperlukan, jangan melebar. Yang penting tema pertemuan pada hari itu sudah masuk, ’How to sympathize and how to respond to the symphaty dengan tema kecil good news and bad news.
“And few days afterward,” aku melanjutkan, “Saking bahagianya anak laki-laki itu bermain kuda tidak kenal lelahnya dan dia terjatuh hingga patah kaki dan harus dirawat.
Berminggu-minggu dia harus istirahat dan tidak menunggang kudanya.” Aku harus benar-benar mempersingkat cerita. “Tiba-tiba, datang utusan dari kerajaan membawa pesan dan titah sang raja ke semua penduduk yang isinya tersebut bahwa semua keluarga yang memiliki anak laki-laki harus ikut ke alun alun kerajaan untuk direkrut dan dilatih perang.
“Tita sang raja ini harus dipatuhi oleh semua penduduk hingga ke desa dan kampung kampung kecil.
Namun, ada pengecualian bagi yang sudah tidak bisa perang tidak diwajibkan karena alasan tertentu, semisal cacat, patah, perempuan dan laki laki renta.
Anak laki-laki yang patah terjatuh dari kuda hanya diam tidak bisa bepergian bersama-sama temannya. Dalam hati dia bersedih tidak bisa ikut berperang bela negara. ‘Andai saja aku tidak terlalu lupa diri, tidak mungkin aku patah kaki…,’ gumamnya. ‘Ya lupa diri itu memang bisa patah semua, bukan hanya patah kaki,’ dia mencoba ambil hikmahnya.
Keadaan kerajaan memang sudah gawat. Negara kecil hasil berlimpah, kekuatan dan kemampuan militer tidak memadai, semua tentara dan civil tentara tewas.
“Tidak ada laki laki perjaka di kampung itu yang tersisa kecuali remaja laki-laki yang patah kaki itu saja. Yang dalam ukuran satu bulan patahnya itu sudah sembuh. Banyak anak gadis yang mendambahkan dia karena dia seorang laki-laki lajang di kampung itu.
Dia menjadi idola. Dan, huu…!” teriak para siswa tersenyum. Inti cerita, Tidak semua bencana malapetaka berujung di situ.
Menghargai profesi tutor dan pendidik masih terus berjuang dengan kemampuannya, tak terbersitpun dalam fikiran mereka apakah merasa diexploitasi, yang ada pada diri pendidik itu para siswanya harus bisa terapkan ilmunya dan berguna untuk kehidupan ini. Soal untung dan rugi, baik pasti peroleh kebaikan jua kelak atau nanti.(Ajl)