Palembang, LamanQu.Com – Gelombang aksi mahasiswa yang berlangsung secara nasional sepanjang Agustus lalu menjadi sorotan publik. Dari Jakarta, Bandung, Makassar hingga Palembang, ribuan mahasiswa turun ke jalan menyuarakan keresahan terhadap berbagai isu, mulai dari ekonomi, kebijakan politik, hingga tuntutan transparansi pemerintah. Aksi-aksi ini menandai bahwa generasi Z semakin mengambil peran dalam ruang demokrasi.
Pengamat Politik Sumsel sekaligus Sekretaris Asosiasi Ilmu Politik Indonesia (AIPI) Sumsel, Ahmad Haekal Al-Haffafah, menilai fenomena itu sebagai sesuatu yang wajar dengan postur demografi Indonesia hari ini. Menurutnya, demokrasi justru akan sehat jika kaum muda diberi ruang bersuara.
“Generasi Z terutama mahasiswa, harus kita dorong agar demokrasi terus tumbuh. Anak muda punya energi besar, punya idealisme. Tapi energi ini harus dikelola dengan cara yang konstruktif, lewat jalur-jalur yang elegan dan bertanggung jawab,” kata Haekal saat ditemui di Palembang, Selasa (24/9).
Haekal menekankan bahwa ada kesalahpahaman publik yang kerap muncul setiap kali terjadi demonstrasi mahasiswa. Tak jarang, gerakan moral yang murni dan idealis justru ikut tercampur dengan tindakan destruktif sebagian oknum. Inilah yang menurutnya perlu diluruskan.
“Gerakan moral itu bicara soal keadilan, transparansi, isu-isu yang substantif. Hal itu lahir dari idealisme yang kuat. Tapi kalau ada tindakan merusak fasilitas, itu jelas bukan bagian dari gerakan moral,” tegasnya.
Ia menambahkan, publik harus bijak dalam membedakan antara gerakan moral dan tindakan anarkis.
“Merusak fasilitas umum bukan bentuk perjuangan, tapi pelanggaran. Saatnya kita bangun ruang diskusi yang sehat dan konstruktif. Perubahan lahir dari kesadaran, bukan kemarahan,” ujarnya.
Dalam konteks ini, membiarkan perusakan fasilitas atas nama aksi justru hanya akan merusak citra gerakan mahasiswa sebagai basis gerakan moral itu sendiri. Karena itu, Haekal mengingatkan pentingnya disiplin dan kesadaran kolektif di kalangan mahasiswa.
Lebih jauh, ia menegaskan bahwa gerakan kritik tidak boleh didasari kebencian. “Kita sepakat bahwa pelaku rusuh harus ditindak agar orang bisa berpikir bahwa gerakan moral itu berbeda dengan gerakan anarkis. Merusak fasilitas berbeda dengan gerakan yang membawa isu-isu substantif,” kata Haekal.
Menurutnya, generasi muda justru harus membangun persatuan dan menyalurkan energi positif melalui gagasan serta dialog. Terlebih di tengah derasnya arus informasi yang rawan memecah belah.
“Kita butuh mengembalikan marwah gerakan cinta tanah air, energi positif dan gagasan persatuan mestilah dibangun terutama di kalangan Gen Z. Kalau bersatu, bisa menjadi kekuatan positif untuk bangsa. Tapi kalau tidak, justru akan menguntungkan pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab,” jelasnya.
Haekal mendorong agar mahasiswa lebih mengedepankan disiplin organisasi, mengutamakan dialog, dan memperkuat jaringan antar kampus maupun komunitas. Dengan begitu, gerakan yang lahir bukan sekadar reaktif.