Forum Alumni PRD dan Pergerakan Demokratik Sumsel Desak Penuntasan Tragedi Mei 1998

Palembang, LamanQu.Com – Dua puluh delapan tahun setelah Tragedi Mei 1998 yang mengguncang fondasi Orde Baru, hingga kini luka sejarah bangsa atas kasus penculikan aktivis 1997-1998, pemerkosaan massal Mei 1998, serta kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat masa lalu lainnya masih belum mendapatkan penyelesaian yang tuntas.
Forum Alumni Partai Rakyat Demokratik (PRD) bersama pergerakan demokrasi di Sumatera Selatan mengecam apa yang mereka sebut sebagai sikap abai negara terhadap penyelesaian pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat di masa lalu
Tuntutan ini disampaikan bertepatan dengan peringatan peristiwa 27 Juli 1996 atau “Kudatuli”, melalui konferensi pers yang digelar di Palembang, Minggu (27/7/25).
Kendati desakan untuk mengusut tuntas dan menyeret para pelaku kejahatan kemanusiaan ke Pengadilan HAM Hoc kencang bergema, namun hingga kini tak ada tindakan nyata dari pemerintah. Selama ini, berbagai tragedi kemanusiaan tersebut tak pernah diselesaikan, bahkan cenderung dipetieskan.
“Ketika kejahatan HAM tidak pernah diusut tuntas, bahkan para pelakunya mendapatkan impunitas dari dari negara maka luka kolektif bangsa ini akan terus menganga lebar. Semua ini dipeti-eskan,” ujar Miftahul Firdaus dalam pernyataan sikapnya.
Miftahul atau akrab disapa Avir menyebut bahwa sejumlah bukti kuat telah diungkap oleh Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) yang dibentuk pada era Presiden B.J. Habibie serta Tim Ad Hoc Komnas HAM berdasarkan mandat Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000.
“Keduanya menyimpulkan telah terjadi kejahatan terhadap kemanusiaan yang dilakukan secara sistematis dan terstruktur dalam peristiwa Mei 1998,” tegas Avir.
Namun, ia menilai hingga kini belum ada langkah konkret untuk membawa para pelaku utama ke pengadilan. “Pemerintahan silih berganti, tapi kebenaran dan keadilan seolah terus diabaikan,” katanya.
Ironisnya, tambah Nachung Tajuddin, dalam kasus tragedi Mei 1998 yang menelan banyak korban, negara, melalui pejabatnya justru berusaha menyangkalnya.
“Dimana diketahui pernyataan Menteri Kebudayaan, Fadli Zon, secara terang-terangan menyebut pemerkosaan massal pada Mei 1998 sebagai rumor belaka. Pernyataan ini bertentangan dengan hasil temuan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) Peristiwa Kerusuhan Mei 1998,”tegasnya
Lebih lanjut Nachung menyampaikan berdasarkan hasil investigasi TGPF, kekerasan seksual yang terjadi mencakup kasus pemerkosaan sebanyak 52 korban, pemerkosaan dan penganiayaan berjumlah 14 korban, penyerangan atau penganiayaan seksual mencapai 10 korban, dan pelecehan seksual berjumlah 9 orang.
“Masih berdasarkan temuan TPGF, berbagai kasus tersebut ditemukan di beberapa kota, termasuk Jakarta, Medan, dan Surabaya,”sambungnya
Ditambahkan Bernadette Suzanna Langotukan, Tim Relawan untuk Kemanusiaan mengungkap temuan kekerasan seksual di Jakarta dan sekitarnya, mencapai lebih dari 150 kasus.
“Termasuk, di antaranya, ditemukan korban yang meninggal. Hal ini menunjukkan bahwa kaum perempuan yang menjadi korban atas peristiwa ini,”sambung Suzi sapaan akrab Bernadette saat memberikan keterangan melalui sambungan telepon.
Kembali dikatakan Nachung, menyebut pemerintahan Prabowo Subianto – Gibran Rakabuming Raka diduga tidak memiliki kemauan politik untuk menyelesaikan pelanggaran HAM berat di masa lalu.
“Yang terjadi justru penulisan ulang sejarah. Upaya Menteri Fadli Zon dan cecunguknya adalah terindikasi kuat akan menghapus peristiwa yang terjadi pada waktu lampau yaitu penculikan dan penghilangan aktivis pada tahun 1997-1998 serta peristiwa pemerkosaan massal yang terjadi pada Reformasi tahun 1998. Ini kejahatan intelektual yang sistematis untuk memutar balikan fakta fakta sejarah!,”jelas Nacung dengan tegas.
Suzi kembali mengatakan ada beberapa aktivis dinyatakan hilang dalam penculikan 1997–1998, di antaranya Petrus Bima Anugrah (PRD), Herman Hendrawan (PRD), Suyat (PRD), Wiji Thukul (PRD), Leonardus Gilang Nugraha (PRD).
“Selain itu, ada juga beberapa aktvis bukan PRD dan orang orang yang dicurigai sebagai aktivis diantaranya adalah: Yani Afri, Noval Al Katiri, Sonny, Dedi Hamdun (Suami artis Eva Arnas), Ucok Munandar Siahaan, Yain Muhidin, Abdun Nasser, dan Ismail,”bebernya.
Lebih lanjut, Suzi menyampaikan menurut data Komnas Perempuan mencatat sedikitnya 168 perempuan menjadi korban perkosaan massal dalam peristiwa kerusuhan Mei 1998.
Namun tak satu pun kasus masuk ke meja hijau. Banyak korban yang dipaksa bungkam, dihantui trauma, atau memilih diam karena takut.
“Sampai sekarang negara belum memberi pemulihan apa pun,” ujarnya seraya berkata bahkan permintaan maaf pun tidak pernah terdengar secara resmi.
Forum Alumni PRD dan Pergerakan Demokratik menyatakan, kasus penculikan aktivis, tragedi Mei 1998, juga peristiwa pemerkosaan massal adalah kejahatan luar biasa (extra ordinary crimes) serta kejahatan kemanusiaan (crimes against humanity), yang direncanakan secara sistematis, terstruktur dan massif.
Dalam pernyataan sikap yang diteken Forum Alumni PRD dan Pergerakan Demokratik, mereka menyampaikan empat tuntutan utama: Pertama, mendesak dibukanya kembali penyelidikan independen atas penculikan dan penghilangan paksa aktivis serta kekerasan seksual dalam peristiwa Mei 1998.
Kedua, merealisasikan rekomendasi secara utuh dan lengkap atas hasil penyelidikan Komnas HAM dan investigasi atau penyelidikan dari Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF).
Ketiga, mendesak pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc terkait kejahatan hak asasi manusia (HAM) serta menjamin keadilan transisional yang menyeluruh bagi korban dan keluarga korban.
Keempat, menjamin hak atas pemulihan yang layak dan bermartabat bagi penyintas kekerasan seksual dan keluarga korban penghilangan paksa, termasuk restitusi, rehabilitasi psikososial, dan pengakuan negara.
“Kami juga menyerukan agar tidak terulang lagi praktik kekuasaan represif dengan menggunakan kekuatan militer, serta menjalankan kekuasaan yang anti-demokrasi di era reformasi ini,” tegas Nachung.
Di akhir konferensi pers, Nachung menutup pernyataannya dengan kalimat yang menggema di ruangan kecil itu: “Diam adalah pengkhianatan.”
Di luar, hari mulai gelap. Tapi di dalam ruangan itu, para penyintas dan aktivis tetap menyala. Seperti Wiji Thukul yang hilang entah di mana, namun suaranya masih terdengar lewat puisinya:
“Apabila usul ditolak tanpa ditimbang, suara dibungkam tanpa alasan, kritik dilarang tanpa dijelaskan, maka hanya satu kata: LAWAN!”.
Berita Terkait
Indeks BeritaMuba Dorong Pertanian Lestari dan Ketertelusuran Karet di Kancah Global...
News, Sumsel
Pansus I Dorong RPJMD Jadi Pedoman Nyata, Bukan Sekadar Administrasi...
News, Sumsel
Kodim 0418/Palembang Tutup Perkemahan Saka Wira Kartika 2025: Wujudkan Generasi Tang...
News, Sumsel
Kabupaten Muba Usulkan Tambahan Kuota JarGas Rumah Tangga dari PGN...
News, Sumsel
Muhammad Raka Hadiyan, Mahasiswa Asal Palembang Jadi Wisudawan Terbaik Fisip Unair 2...
News, Pendidikan