Korporasi Berulah, Karhutla Berulang, Asap Mengancam

News
Asap , Karhutla , korporasi , WALHI

Palembang, lamanqu.com – Keberadaan asap yang melebihi batas ambang ini berarti ada dampak kerusakan ekosistem Gambut. Menuntut Pemerintah bertanggung jawab atas pemberian jutaan hektar izin kepada korporasi“, ungkap Direktur Eksekutif WALHI Sumsel, Hairul Sobri dalam siaran pers nya, Kamis, 12/09.

Dikatakan Sobri, Tugas dan tanggung jawab Negara lah atas kualitas udara sehat dan bersih yang kini telah dirampas akibat maraknya kebakaran hutan dan lahan di wilayah gambut.

Dari pantauan update data kualitas udara Kota Palembang pada tanggal 11 September 2019 pada pukul 21.00 WIB, didapati bahwa Kualitas udara kota Palembang mengalami tingkat bahaya dan rentan terhadap kesehatan kususnya pernapasan.

Sobri melanjutkan yang paling bertanggung jawab menyikapi persoalan ini adalah pemerintah pusat dan daerah.

Imbaunya pihak negara harus segara dan cepat dalam menangani persoalan ini, karena Negara bertangung jawab atas udara bersih dan sehat untuk rakyat bukan Asap

Terkait soal Kebakaran Hutan dan Lahan (Karhutla) yang terkesan lamban dan seperti tidak ada pola system yang jelas dalam penanganannya.

Walhi Sumsel telah mengikuti ini, pada awal september tahun ini kebakaran lahan gambut kembali memuncak lagi, disebabkan oleh faktor musim kemarau yang masih panjang dan rusaknya kawasan gambut oleh pemberian izin konsesi sekala besar.

Faktanya berdasarkan data yang diolah oleh walhi Sumsel, dari data citra satelit semenjak tanggal 1 Agustus – 8 September 2019”. Ada Peningkatan signifikan kebakaran lahan dalam wilayah izin konsesi korporasi dari bulan Juli sebanyak 42 Titik Hospot.

Pada bulan Agustus naik dengan cepat 203 Titik Hospot. Lebih paranya lagi 8 hari awal bulan September sudah mencapai angka yang begitu besar yakni 117 Titik Hospot.

Pada saat yang sama, paska bencana ekologis Karhutla pada 2015 yang menimbulkan kerugian ekonomi lebih dari 200 triliun, dibentuklah BRG (Badan restorasi Gambut) dengan mandat melakukan upaya restorasi, secara regulasi tanggung jawab restorasi ekosistem gambut juga berada di KLHK, (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan). Khususnya untuk kawasan hutan, dan termasuk juga Kementerian Pertanian untuk konsesi perkebunan.

Dia pun mengungkapkan bahwa hal ini akibat Lemahnya pengawasan upaya restorasi ekosistem gambut, khususnya pada kawasan konsesi mengakibatkan penanganan Karhutla tidak mengalami kemajuan, bahkan semakin memburuk jika mempertimbangkan
peningkatan data hotspot saat ini.

Ini berbanding terbalik dengan tudingan banyak pihak dari pemerintah, upaya restorasi (infrastruktur, pembasahan
ekosistem gambut, dan upaya vegetasi kembali) ditemukan di lapangan justru lebih konsisten dilakukan oleh masyarakat.

Menyingung soal peran serta semua pihak untuk memikirkan persoalan ini, nampak nya ada kesan menutupi misalnya saja
Pada sisi keterbukaan informasi, publik tidak pernah disajikan aksesibilitas terhadap dokumen-dokumen pemegang konsesi, khususnya dalam upaya melakukan restorasi.

Faktanya kebakaran hutan dan lahan yang setiap tahunnya terjadi terus berulang bahkan di tempat yang sama. Hal ini menunjukan tiada daya dan upaya selain upaya penegakan hukum
dengan bertindak tegas kepada pelaku usaha. Yang kita ketahui sejak kebakaran besar 2014 tidak ada satupun perusahan yang dicabut izinnya ataupun penciutan izin di wilayah kebakaran.

Faktanya wilayah-wilayah kebakaran di wilayah izin bukannya dipulihkan bahkan menjadi tanaman sawit akasia/ekaliptus baru. Sampai saat ini dalam 2 tahun terakhir masih banyak izin izin baru yang dikeluarkan pemerintah di lahan-lahan gambut.

Hairul Sobri, Direktur Eksekutif WALHI Menyampaikan Pemerintah tegas saja, gambut ataupun kubah-kubah gambut itu peruntukannya untuk siapa ?

698.674 hektar kubah gambut yang seharusnya dilindungi namun sebaliknya dibebani izin kepada korporasi rakus ruang.

Betahun-tahun kita terpapar asap, Pencabutan izin tidak pernah dilakukan pemerintah.

Bahkan perintah pencabutan izin dari seorang presiden pada tahun 2015 di kabupaten OKI diabaikan. Kasus-kasus korporasi yang terbakar dan masuk di ranah hukum banyak penyidikannya dihentikan.

Upaya restorasi ekosistem gambut tidak berjalan pada semua wilayah konsesi, padahal pemulihan gambut harus berdasarkan kawasan / lanskap. selama ini upaya restorasi berbanding
lurus dengan temuan hotspot. tidak ada upaya pencabutan izin maupun review izin pada kawasan konsesi yang terbakar berulang dari tahun ke tahun.

Upaya penegakan hukum yang tidak selaras dengan sikap pemerintah.

Melihat paparan asap 1 minggu ini pemerintah harus menanggung semua biaya korban terpapar asap, jangan biarkan 1 rupiahpun uang rakyat keluar untuk berobat dampak dari kebijakan yang
memberikan jutaan hektar izin di bumi sriwijaya, serta kelakuan korporasi yang
mengeksploitasi dan merusak kawasan-kawasan gambut.